Proposal Penelitian: Kekerasan Seksual
Oleh:
Nama: Zahra Rachmania (35)
Kelas: XI MIA 5
Mata Pelajaran: Bahasa Indonesia
SMAN 2 KS CILEGON
2021
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas proposal penelitian yang berjudul [Perspektif yang Berkembang di Masyarakat dan Perlindungan Hukum Korban Kekerasan Seksual] ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan proposal penelitian ini adalah untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia. Selain itu, proposal ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang [Kekerasan Seksual] bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Saya mengucapkan terima kasih kepada [Ibu Agnes], selaku [guru Bahasa Indonesia] yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan mata pelajaran yang saya tekuni. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan proposal penelitian ini. Saya menyadari, proposal yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan proposal penelitian ini.
Cilegon, 27 Januari 2021
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
- 1.1 Latar Belakang Masalah
- 1.2 Rumusan Masalah
- 1.3 Tujuan Penelitian
- 1.4 Hipotesis Penelitian
- 1.5 Manfaat Penelitian
- 1.6 Batasan Masalah
- 2.1 Kekerasan Seksual
- 2.2 Jenis Kekerasan Seksual
- 2.3 Dampak dari Kekerasan Seksual
- 2.4 Pencegahan Kekerasan Seksual
- 2.5 Kekerasan Seksual yang terus terjadi dan pandangan masyarakat terhadap korban
- 2.6 Korban sulit buka suara dan perlindungannya di mata hukum
- 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
- 3.2 Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling
- 4.1 Kesimpulan
- 4.2 Saran
Daftar Pustaka
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Dari salah satu hal yang marak diperbincangkan belakangan
ini oleh berbagai kalangan, saya melihat begitu banyak kasus kekerasan seksual. Khususnya di
Indonesia setiap tahun terjadi peningkatan dikarenakan ada ketidakadilan gender, budaya patriarki dan penyalahgunaan kuasa yang merupakan akar penyebab terjadinya kekerasan
seksual. Korbannya tidak lain adalah perempuan baik itu anak- anak, remaja
maupun dewasa. Pelaku bisa saja orang terdekat korban, orang tidak dikenal,
bahkan orang yang semestinya memiliki tugas melindungi korban. Lagi dan lagi
menempatkan perempuan sebagai objek seksual laki- laki. Kekerasan seksual dapat
terjadi dimana saja baik di rumah, jalan, transportasi publik, institusi
pendidikan bahkan di tempat yang seharusnya menjadi area aman bagi korban. Sikap
masyarakat yang selalu menyudutkan korban dengan menyalahkan apa yang dikenakan
saat peristiwa terjadi. Padahal hal ini dapat dimanfaatkan oleh pelaku untuk
lepas dari jeratan hukum dengan membangun asumsi senada bahwa pelaku
terprovokasi melakukan kekerasan seksual karena pakaian yang dikenakan korban.
Di sisi lain tanpa disadari sikap seperti itu memberi pembenaran atas tindakan
pelaku. Nyatanya bagaimanapun cara berpakaian baik yang tertutup sekalipun
tidak terlepas dari bentuk kekerasan seksual dikarenakan dalam otak pelaku
sudah ditumbuhi fetish menutup aurat. Seharusnya keberpihakan kita terhadap
korban dan empati adalah modal terbaik untuk membantu mengangkat korban dari
keterpurukan emosinya. Melihat kasus kekerasan seksual yang terus terjadi,
sebaiknya pemerintah dan legislatif menyegerakan disahkannya RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual agar dapat dijadikan payung hukum melindungi korban.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam proposal penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Apa itu kekerasan seksual?
2. Apa saja jenis kekerasan seksual?
3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari kekerasan seksual?
4. Bagaimana cara mencegah kekerasan seksual?
5. Mengapa kekerasan seksual terus terjadi di masyarakat?
6. Mengapa begitu sulit korban untuk buka suara, apakah ada perlindungan hukum untuk menyuarakan haknya?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan proposal penelitian ini dipaparkan sebagai berikut.
1. Memaparkan bagaimana kekerasan seksual itu terjadi dilingkungan masyarakat sekitar kita.
2. Menjelaskan berbagai dampak yang dialami oleh para korban kekerasan seksual.
3. Mencari tahu dan memastikan perlindungan hukum di Indonesia untuk para korban kekerasan seksual.
4. Mengetahui perspektif dan tindakan masyarakat terhadap korban kekerasan seksual.
1.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut.
1. Kekerasan seksual adalah segala kegiatan yang terdiri dari aktivitas seksual yang dilakukan secara paksa.
2. Pelecehan seksual adalah salah satu jenis dari kekerasan seksual.Menurut Komnas Perempuan, setidaknya ada 15 perilaku yang bisa dikelompokkan sebagai bentuk kekerasan seksual.
3. Banyak dampak berbahaya yang ditimbulkan dari pelecehan seksual, yaitu dapat berpengaruh pada psikologis, fisik, dan sosialnya.
4. Untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, ada beberapa hal yang bisa dilakukan, seperti selalu waspada terutama saat sedang berada di tempat publik.
5. Penyebab terjadinya adalah karena ketidakadilan gender, perempuan selalu dinomor duakan dan dianggap lemah oleh laki- laki.
6. Sulitnya korban untuk buka suara adalah belum ada naungan hukum yang pasti dan memadai untuk memberikan perlindungan. Pemerintah dan legislatif harus menyegerakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual .
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk mengedukasi diri agar tetap waspada bahwa kejahatan kekerasan seksual bisa terjadi dimana saja dan dilakukan oleh siapa saja. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan kita dapat merangkul korban untuk mengungkapkan kasus dan memberikan pemulihan melalui rasa empati yang kita berikan.
1.6 Batasan Masalah
Dalam proposal penelitian ini, penulis akan membahas
tentang bagaimana kekerasan seksual itu terjadi disekitar kita secara detail
dengan jenis dan dampak yang diberikan. Selain itu, penulis hendak memastikan
bahwa korban kekerasan seksual mendapat perlindungan hukum dan pemulihan trauma.
Bab II
Tinjauan Pustaka
2.1 Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah setiap tindakan baik berupa
ucapan ataupun perbuatan yang dilakukan seseorang untuk menguasai atau
memanipulasi orang lain serta membuatnya terlibat dalam aktifitas seksual yang
tidak dikehendaki.
2.2 Jenis Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual dan pelecehan seksual adalah dua
hal yang berbeda. Kekerasan seksual, merupakan istilah yang cakupannya lebih
luas daripada pelecehan seksual. Pelecehan seksual adalah salah satu jenis dari
kekerasan seksual.
Menurut Komnas Perempuan, setidaknya ada 15 perilaku
yang bisa dikelompokkan sebagai bentuk kekerasan seksual, yaitu:
1. Perkosaan
2. Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan
perkosaan
3. Pelecehan seksual
Contoh pelecehan seksual berbasis digital
4. Eksploitasi seksual
5. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual
6. Prostitusi paksa
7. Perbudakan seksual
8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung
9. Pemaksaan kehamilan
10. Pemaksaan aborsi
11. Pemaksaan kontrasepsi seperti memaksa tidak mau
menggunakan kondom saat berhubungan dan sterilisasi
12. Penyiksaan seksual
13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang
membahayakan atau mendiskriminasi perempuan (misalnya sunat perempuan)
15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan
diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Belasan contoh di atas bukanlah rumusan baku
mengenai perilaku kekerasan seksual. Masih ada beberapa contoh lain yang juga
bisa masuk sebagai kekerasan seksual dan bisa dialami tidak hanya oleh
perempuan, tapi juga anak dan laki-laki, seperti:
1. Kekerasan seksual terhadap anak dan inses
2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap pasangan,
termasuk istri atau suami dan pacar
3. Menyentuh atau melakukan kontak seksual tanpa
persetujuan
4. Menyebarkan foto, video, atau gambar organ seksual
atau tubuh telanjang seseorang kepada orang lain tanpa persetujuan yang
bersangkutan
5. Melakukan masturbasi di depan publik
6. Mengintip atau menyaksikan seseorang atau pasangan
yang sedang melakukan aktivitas seksual tanpa sepengetahuan yang bersangkutan
Mengalami kekerasan seksual bisa mengubah banyak hal dalam kehidupan para penyintas, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Berikut ini dampak negatif yang bisa dirasakan oleh mereka yang pernah menjadi korban kekerasan seksual.
- Kehamilan tak terencana
Pada korban pemerkosaan, kehamilan tak terencana merupakan salah satu akibat yang harus ditanggung. Di banyak negara termasuk Indonesia, korban pemerkosaan yang hamil seringkali dipaksa untuk mempertahankan kehamilannya atau menjalani aborsi ilegal yang bisa membahayakan nyawa.
- Munculnya gangguan di alat vital
Hubungan seksual yang dipaksakan juga terbukti bisa meningkatkan risiko terjadinya komplikasi seperti: Pendarahan vagina, Infeksi vagina, Iritasi genital, Fibroid, Nyeri saat berhubungan seksual, Nyeri panggul kronis, Infeksi saluran kemih
- Infeksi menular seksual
Salah satu infeksi menular seksual berbahaya yang
bisa ditularkan akibat kekerasan seksual adalah HIV/AIDS. Penelitian
menyebutkan bahwa perempuan yang pernah mengalami kekerasan secara fisik maupun
seksual, berisiko lebih tinggi mengalai infeksi menular seksual.
- Gangguan kesehatan mental
Setelah mengalami kekerasan seksual, para penyintas bisa merasa bahwa tubuh mereka bukanlah miliknya sendiri. Seringkali, mereka merasa bersalah atas hal yang terjadi, merasa malu, dan terus terngiang-ngiang akan kejadian tersebut. Karena trauma dan emosi negatif yang dialami para penyintas, berbagai gangguan mental di bawah ini bisa terjadi: Depresi, Gangguan kecemasan, Post traumatic stress disorder (PTSD), Gangguan kepribadian, Punya masalah untuk membentuk kedekatan yang baik dengan orang lain, Kecanduan alkohol dan obat-obatan terlarang.
- Muncul keinginan untuk bunuh diri
Perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual
bisa punya kecenderungan memiliki suicidal thoughts atau keinginan untuk bunuh
diri. Pada beberapa kasus, keinginan tersebut juga berlanjut menjadi percobaan
bunuh diri. Kecenderungan ini pun tak hanya terjadi pada orang dewasa, tapi
juga pada remaja.
- Dikucilkan dari lingkungan sosial
Masih banyak budaya di negara-negara di dunia yang
menganggap bahwa laki-laki tidak bisa mengontrol keinginan seksual mereka dan
perempuan lah yang bertanggung jawab apabila laki-laki sampai tidak bisa
mengendalikan nafsunya. Mental “kucing tidak mungkin menolak jika diberi ikan
asin” ini salah dan sangat berbahaya.
Budaya ini membuat para korban kekerasan seksual
justru seolah disalahkan atas yang terjadi pada dirinya. “Salah sendiri pakai
baju terbuka,” atau “Siapa suruh pacaran?” dan kalimat-kalimat menyalahkan
korban ini membuat para korban kekerasan seksual merasa malu dan dikucilkan
dari lingkungannya.
Selain itu, hal yang disebut sebagai solusi seperti
perempuan yang sudah diperkosa harus mau menikahi pemerkosanya, juga membuat
perasaan para korban hancur dan sangat terluka. Tekanan untuk tidak melaporkan
tindakan kekerasan seksual agar keluarga tidak malu juga merupakan pola pikir
yang harus diubah, demi masa depan penyintas.
- Gangguan kognitif
Kekerasan seksual yang terjadi akan sangat sulit
dilupakan oleh para penyintas. Mereka bisa saja terus memikirkan berbagai
skenario yang seharusnya bisa ia lakukan untuk menghindari kekerasan tersebut.
Para penyintas seringkali bermimpi buruk dan memikirkan berbagai fantasi di
kepalanya. Hal ini bisa berujung pada gangguan makan, perubahan fisik, hingga
penggunaan obat-obatan terlarang.
2.4 Pencegahan Kekerasan Seksual
Untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, ada
beberapa hal yang bisa dilakukan, seperti:
1. Selalu waspada, terutama saat sedang berada di
tempat publik, termasuk di kendaraan umum
2. Bekali diri dengan semprotan merica atau alat
pembela diri lainnya
3. Lakukan perlawanan, salah satunya dengan memukul
kelamin pelaku
4. Waspadai orang yang tidak dikenal
5. Bekali diri dengan pengetahuan seputar kekerasan
seksual
Sedangkan jika Anda merasa telah mengalami kekerasan
seksual, beberapa hal di bawah ini sebaiknya dilakukan.
1. Jangan menyalahkan diri sendiri
2. Jangan langsung membersihkan anggota tubuh setelah
kejadian
3. Kumpulkan barang-barang yang bisa menjadi alat
bukti
4. Segera laporkan ke pihak berwajib
5. Datang ke layanan kesehatan dan layanan kekerasan
seksual
6. Cari dukungan orang-orang terdekat
Apabila ada kerabat, teman atau saudara yang
bercerita kepada Anda bahwa dirinya sudah menjadi korban kekerasan seksual,
lakukanlah langkah-langkah di bawah ini.
1. Dengarkan cerita korban
2. Jangan menstigma korban
3. Beri informasi mengenai hak-hak korban
4. Jangan tinggal diam
5. Ikut kegiatan advokasi
6. Dukung lembaga layanan korban kekerasan seksual
Kekerasan seksual terus saja terjadi. Secara statistik, jumlahnya terus bertambah. Komnas Perempuan mencatat, sepanjang 2019, terjadi 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan.
Kenapa rantai kekerasan ini sulit diputus? Kalau merujuk dari UN Women, kekerasan seksual ini memang masalah global. Selama budaya pemerkosaan masih berakar, kasus-kasus tersebut akan sulit dihapuskan. Budaya atau lingkungan sosial yang masih membenarkan kontrol patriarki dan ketimpangan gender. Mari kita lihat, hal-hal di sekitar kita yang menjadi akar dari masalah kekerasan seksual ini atau disebut juga sebagai rape culture, kultur yang melanggengkan pemerkosaan dan pelecehan pada perempuan.
- Mencurigai Feminisme. Dengan dalih agama, feminisme dituding sebagai produk Barat dan sudah kelewat batas. Misalnya, perempuan yang mengambil peran di publik, dituding menelantarkan anak. Sementara, suami yang kemudian berselingkuh karena istri ‘sibuk kerja’, dibenarkan tindakannya. Begitu juga, kalangan yang membenarkan poligami dan menganggap istri tidak punya hak untuk melarang suami menikah lagi.
- Masih adanya miskonsepsi feminisme. Feminisme dianggap sebagai perang antara perempuan melawan pria. Feminisme adalah gerakan membenci dan menginjak-injak pria. Jika merunut dari Encyclopedia Britannica, feminisme berarti kepercayaan pada kesetaraan sosial, ekonomi, dan politik dari kedua jenis kelamin, yakni pria dan wanita. Kesetaraan, bukan sebagai sebuah perang gender, satu gender berkuasa atas yang lain. Jadi, bisa dikatakan, feminisme adalah tentang kesetaraan dan keadilan.
- Menganggap Kekerasan Seksual adalah ‘Drama’. Masih ingat dengan kasus pelecehan seksual anak yang dilakukan oleh guru dan karyawan di JIS tahun 2014? Kasus ini diragukan dan dianggap penuh rekayasa. Lembaga Kontras menilai, dalam kasus ini tindakan polisi kurang hati-hati, tidak independent, dan memaksakan sebuah kasus dari bukti-bukti yang sangat lemah. Sampai sekarang, kebenarannya belum terang. Betul bahwa di luar sana memang ada saja pihak-pihak yang mengungkapkan tuduhan palsu. Kesempatan ini yang sering dijadikan modus para pelaku atau predator seksual, yakni berusaha mengaburkan fakta, dengan menganggap bahwa dirinya adalah korban tuduhan palsu.
- Victim Blaming. Masih adanya sikap menyalahkan korban yang mengalami kekerasan seksual. “Salah sendiri pulang malam.” “Lihat saja, bajunya kebuka gitu.” Ada narasi seolah-olah pihak korbanlah yang sengaja memancing terjadinya kekerasan seksual. Hal ini menjadi peluang untuk pelaku berasumsi bahwa ia terprovokasi oleh pakaian korban. Padahal tidak menutup kemungkinan yang menutup aurat dilecehkan. Di Lombok, ada guru perempuan bernama Baiq Nuril yang merekam percakapan asusila yang dilakukan seorang kepala sekolah terhadap dirinya sebagai bukti untuk membela diri. Namun Baiq malah dihukum 6 bulan penjara dan didenda Rp 500 juta lantaran dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam menyebarkan dokumen elektronik dengan muatan asusila. Kasus-kasus tersebut hanyalah puncak gunung es dari budaya victim blaming yang cukup kuat terhadap korban tindak kekerasan seksual di Indonesia.
- Stigma Maskulinitas. Kalangan pria yang mempraktikkan feminisme dalam kehidupan sehari-hari dipandang rendah. Penyebutan ‘suami-suami takut istri’, cengeng, lemah, dan tidak jantan, misalnya, disematkan kepada para suami yang mau melakukan pekerjaan domestik atau mengasuh anak. Dalam hal ini, ketidakadilan gender tidak hanya dialami oleh perempuan saja, tapi juga pria. Maskulinitas ini sangat berperan dalam kasus kekerasan seksual. Karena bagaimana pun, tindak pemerkosaan ataupun pelecehan seksual adalah masalah relasi kuasa, di mana pelaku ingin menunjukkan kekuasaan pada korban.
- Sikap Pembiaran. Entah itu di WA, FB, Twitter, kita pasti sering menemukan komentar yang bernada melecehkan. Saat joke-joke yang mengandung pelecehan seksual dibiarkan dan dianggap receh, atau malah ditertawakan, itu artinya kita sudah memberikan toleransi atau pembiaran terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual. Komentar-komentar yang kelihatannya kecil, tapi kalau dipraktikkan sehari-hari, akan membawa dampak besar.
Anggota Komisi VIII DPR RI Diah Pitaloka yang merupakan salah satu pengusul RUU PKS, mengatakan RUU ini telah masuk dalam RUU Prolegnas Prioritas 2021. Menurutnya, pembahasan RUU PKS lebih tepat dilakukan pada periode sekarang karena fokus DPR tidak terpecah. Persoalannya penting dan menjadi perhatian publik sehingga memang harus diangkat menjadi salah satu agenda parlemen. Juga selama ini menjadi kelemahan hukum dalam banyak kasus kekerasan seksual.
Bab III
Metodologi Penelitian
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu pelaksanaan penelitian mulai tanggal 26 Januari 2021 sampai dengan 09 Februari 2021. Penelitian akan dilakukan di Jl. Serdag, Purwakarta, Cilegon.
3.2 Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling
Populasi yang digunakan dalam proposal penelitian adalah laki-laki yang cenderung sebagai pelaku dan perempuan sebagai korban. Sampel penelitian adalah diri sendiri berupa kejadian dengan jenis pelecehan seksual yaitu catcalling atau berupa godaan verbal di ruang publik. Teknik sampling dengan mengamati lingkungan sekitar tentang ada atau tidaknya kasus kekerasan seksual.
Komentar
Posting Komentar